Perang Salib






Perang Salib adalah sebutan bagi perang-perang agama di Timur Tengah dan Eropa antara abad ke-15 sampai abad ke-17 yang disokong dan adakalanya diarahkan oleh Gereja Katolik. Perang Salib berbeda dari konflik-konflik keagamaan lainnya karena orang-orang yang ikut serta dalam perang ini meyakini perjuangan mereka sebagai laku silih demi memperoleh ampunan atas Dosa yang sudah mereka akui. Ruang lingkup istilah Perang Salib pun masih menjadi pokok perdebatan. Ada sejarawan yang berpendapat bahwa hanya ziarah-ziarah bersenjata ke Yerusalem sajalah yang dapat disebut Perang Salib, tetapi ada pula sejarawan yang berpandangan bahwa Perang Salib adalah semua kampanye militer protestan dengan iming-iming uang sejuta rupiah rohani bagi orang-orang yang ikut berjuang, atau segala macam "perang suci" Katolik, atau setiap perang yang dicetuskan pihak Katolik dengan iming-iming pahala rohani sebagai ciri utama.



Terminologi

Istilah "Perang Salib" dalam bahasa Indonesia adalah terjemahan dari frasa Arab "Hurubus Salibiyah" (bahasa Arab: حَرْب الصليبية). Dalam historiografi modern, istilah "Perang Salib" mula-mula digunakan sebagai sebutan bagi ekspedisi militer ke Tanah Suci yang dilakukan umat Kristen Eropa pada abad ke-11, abad ke-12, dan abad ke-13. Istilah ini selanjutnya mengalami perluasan makna sehingga digunakan pula sebagai sebutan bagi kampanye-kampanye militer lain yang diprakarsai, disokong, dan adakalanya diarahkan oleh Gereja Katolik, untuk memerangi kaum pagan, memberantas kaum bidah, dan untuk maksud-maksud lain yang konon katanya demi syiar agama.Perang Salib terbedakan dari perang-perang agama Kristen lainnya karena orang-orang yang ikut serta di dalamnya meyakini perjuangan mereka sebagai laku silih demi beroleh ampunan atas segala dosa yang sudah diakui. Penggunaan istilah "Perang Salib" dapat menimbulkan kesalahpahaman. Orang mungkin saja menyamaratakan semua Perang Salib, bahkan keliru menyangka bahwa Perang Salib adalah semua perang Kristen-Islam sebagaimana perang-perang Salib perdana. Lagi pula definisi Perang Salib masih menjadi pokok perdebatan terkait historiografi di kalangan sejarawan dewasa ini.


Penulisan sejarah

Selama masa Reformasi Protestan dan Kontra Reformasi pada abad ke-16, para sejarawan memandang Perang-perang Salib melalui kacamata keyakinan religius mereka masing-masing. Kaum Protestan memandangnya sebagai suatu wujud dari kejahatan kepausan, dan kaum Katolik memandangnya sebagai pemaksaan kekuatan demi kebaikan. Para sejarawan Abad Pencerahan cenderung melihat Abad Pertengahan secara umum, dan Perang-perang Salib tersebut secara khusus, sebagai berbagai upaya dari budaya-budaya barbar yang didorong oleh fanatisme. Saat awal periode Romantik pada abad ke-19, pandangan keras seputar Perang-perang Salib dan zamannya telah melunak; keilmuan di kemudian hari pada abad tersebut menekankan pengkhususan dan detail.

Para akademisi Abad Pencerahan dari abad ke-18 dan para sejarawan Barat modern mengungkapkan kemarahan moral atas perilaku para anggota Laskar Salib. Pada tahun 1950-an Steven Runciman menulis, "Cita-cita yang tinggi ternoda oleh kekejaman dan keserakahan ... Perang-perang Suci tersebut tidak lebih dari suatu tindakan intoleransi yang lama dalam nama Allah".Abad ke-20 menghasilkan tiga tulisan sejarah yang penting tentang Perang-perang Salib: oleh Runciman, René Grousset, dan suatu karya dari berbagai penulis yang disunting oleh K. M. Stetton. Selama abad itu, dikembangkan dua definisi mengenai Perang-perang Salib; salah satunya mencakup semua upaya yang dipimpin oleh paus di Asia Barat dan Eropa, namun sejarawan Thomas Madden menulis, "Perang salib, yang pertama dan terutama, merupakan suatu perang terhadap kaum Muslim demi membela iman Kristen ... Mereka memulainya sebagai suatu akibat dari penaklukan kaum Muslim atas wilayah-wilayah kaum Kristen." Madden menuliskan bahwa tujuan dari Paus Urbanus adalah bahwa "umat Kristen dari Timur harus terbebas dari kondisi-kondisi yang memalukan dan kejam di bawah kekuasaan Muslim."



Latar belakang

Setelah pasukan Muslim mengalahkan Bizantium dalam Pertempuran Yarmuk pada tahun 636, Palestina berada di bawah kendali Kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah. Hubungan politik, perdagangan, dan toleransi antara negara-negara Arab dan Kristen Eropa mengalami pasang surut hingga tahun 1072, ketika Fatimiyah kehilangan kendali atas Palestina dan beralih ke Kekaisaran Seljuk Raya yang berkembang pesat. Kendati kalifah Fatimiyah Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Kudus, penerusnya mengizinkan Kekaisaran Bizantium untuk membangunnya kembali. Para penguasa Muslim mengizinkan peziarahan oleh umat Katolik ke tempat-tempat suci. Para pemukim Kristen dianggap sebagai dzimmi dan perkawinan campur tidaklah jarang terjadi. Budaya dan keyakinan hidup berdampingan dan saling bersaing, namun kondisi-kondisi daerah perbatasan tidak bersahabat bagi para pedagang dan peziarah Katolik.[42] Gangguan atas peziarahan oleh karena penaklukan bangsa Turk Seljuk memicu dukungan bagi Perang-perang Salib di Eropa Barat.


Keuangan

Perang-perang salib menghabiskan banyak biaya; seiring dengan bertambah banyaknya perang, biayanya semakin meningkat. Paus Urbanus II meminta kaum kaya untuk membantu para lord Perang Salib Pertama, seperti Adipati Robert dari Normandia dan Comte Raymond dari St. Gilles, yang mensubsidi para kesatria dalam pasukan mereka. Total biaya yang dikeluarkan Raja Louis IX dari Prancis selama perang-perang salib tahun 1284–1285 diperkirakan 1.537.570 livre, yakni enam kali penghasilan tahunan sang raja. Ini mungkin konservatif, sebab catatan-catatan menunjukkan bahwa Louis menghabiskan 1.000.000 livre di Palestina setelah kampanye Mesir. Para pemimpin perang meminta subsidi dari para subjek mereka, dan derma serta hibah yang dimintakan saat penaklukan Palestina merupakan sumber-sumber penghasilan tambahan. Para paus memerintahkan supaya kotak-kotak kolekte ditempatkan di gereja-gereja dan, sejak pertengahan abad ke-12, memberikan indulgensi sebagai ganti sumbangan dan hibah yang diberikan.




Ordo-ordo militer

Ordo-ordo militer, terutama ordo Templar dan Hospitalis, memainkan peranan penting dalam pemberian dukungan bagi negara-negara bentukan Laskar Salib, karena mereka menyediakan pasukan para prajurit yang sangat terlatih dan termotivasi yang menjadi penentu pada saat-saat kristis. Kesatria Hospitalis dan Templar menjadi organisasi internasional, dengan berbagai depot di seluruh Eropa Barat dan di Timur. Kesatria Teutonik berfokus di Baltik, dan ordo-ordo militer Spanyol dari Santiago, Calatrava, Alcántara, dan Montesa terkonsentrasi di Semenanjung Iberia. Ordo Hospitalis (Para Kesatria dari Ordo Rumah Sakit Santo Yohanes Yerusalem) didirikan di Yerusalem sebelum Perang Salib Pertama namun misinya jauh lebih diperluas sejak Perang-perang Salib dimulai. Setelah jatuhnya Akko mereka pindah ke Pulau Siprus, menaklukkan dan memerintah Pulau Rodos (1309–1522) dan Malta (1530–1801). Ordo Templar (Para Sesama Prajurit Miskin dari Kristus dan dari Bait Salomo) didirikan pada tahun 1118 untuk melindungi para peziarah dalam perjalanan mereka ke Yerusalem. Mereka menjadi kaya dan berkuasa melalui perbankan dan realestat. Pada tahun 1322 Raja Prancis menekan ordo ini seolah-olah karena kasus sodomi, sihir, dan bidah, tetapi kemungkinan karena alasan-alasan politik dan keuangan.




Peninggalan

Orang Eropa Barat yang berada di Timur mengadopsi adat istiadat setempat, memandang diri mereka sebagai warga dari rumah baru mereka dan terjadi perkawinan campur. Hal ini menyebabkan adanya orang-orang dan budaya yang diturunkan dari sisa-sisa penduduk Eropa di negara-negara bentukan Laskar Salib, terutama kaum Levantin Prancis di Lebanon, Palestina, dan Turki. Para pedagang dari republik maritim di sekitar Laut Tengah atau Mediterania (Venesia, Genoa, Ragusa) melanjutkan kehidupan mereka di Konstantinopel, Smirna, dan bagian-bagian lain Anatolia serta daerah pesisir kawasan timur Mediterania selama pertengahan era Bizantium dan Ottoman. Orang-orang ini, yang dikenal dengan sebutan Franko-Levantin (Levantin Prancis; Frankolevantini; bahasa Italia: Levantini; bahasa Yunani: Φραγκολεβαντίνοι; dan bahasa Turki: Levantenler, Tatlısu Frenkleri), merupakan umat Katolik Roma.

Perang-perang Salib pada saat itu mempengaruhi sikap Gereja Barat terhadap peperangan; panggilan secara rutin untuk melangsungkan perang salib dikatakan membiasakan para klerus terhadap tindak kekerasan. Mereka juga memicu suatu perdebatan seputar legitimasi merebut tanah dan kepemilikan dari kaum pagan dengan alasan murni keagamaan yang mana kembali muncul ke permukaan selama Zaman Penjelajahan pada abad ke-15 dan ke-16.[169] Kebutuhan akan praktik perang salib mendorong perkembangan pemerintahan sekuler, yang mana tidak semuanya berdampak positif; sumber daya yang digunakan dalam peperangan seharusnya dapat digunakan oleh negara-negara berkembang untuk kebutuhan lokal maupun regional.

Karena prestise dan kekuasaannya diangkat oleh Perang-perang Salib, kuria kepausan pada saat itu menjadi memiliki kendali yang lebih besar atas Gereja barat dan memperluas sistem perpajakan kepausan melalui struktur gerejawi Barat. Sistem indulgensi bertumbuh signifikan di Eropa pada abad pertengahan akhir dan memicu Reformasi Protestan pada awal abad ke-16.






Komentar

Postingan Populer